CERPEN DUNIA DI BALIK KERTAS
DUNIA DIBALIK KERTAS LIPAT
Gadis kecil berambut hitam pekat itu terduduk dengan membawa kertas lipat di tangannya. Ia menyimpan bentuk bintang dan pesawat yang berhasil dibuatnya, lalu mengambil kertas lipat baru.
“Sekarang aku buat bentuk capung,” ucapnya riang.
Dengan lihai, perlahan ia melipat kertas itu satu per satu hingga menjadi sebuah bentuk capung. Entah sudah berapa ratus lipatan kertas yang Marina buat. Namun, tak membuat ia bosan sedikitpun.
Favoritnya adalah sesuatu yang bisa terbang. Ia selalu membuat suatu bentuk seperti pesawat,capung dan lain-lain. Kemudian hasilnya akan ditempel di dinding kamar rumah sakit yang sudah dua tahun ia tempati. Sudah seperti rumah kedua baginya.
“Marina, ibu cariin ternyata ada di sini. Sarapan dulu, yuk,” ajak Ririn, ibu Marina.
“Aku bosan Bu, ingin pulang.”
“Iya, nanti kita pulang kalau kamu sudah sembuh. Sekarang makan dulu, ya.”
Marina tahu jika ibunya berbohong. Dia tahu tentang penyakit yang diidapnya. Kanker otak primer (Astrocytoma) kanker yang berasal dari sel glial yang berfungsi untuk menunjang sistem saraf. Kanker jenis ini dapat menyerang anak hingga lansia.
Hanya saja Marina tidak mengetahui secara detail tentang riwayatnya. Ia hanya tahu jika dirinya mengidap penyakit kanker. Gadis kecil itu tersenyum saat kembali menuju kamar inapnya.
Belum sampai di kamar, Marina kembali kejang hingga beberapa suster membantunya. Gadis malang itu kembali diperiksa oleh dokter yang menanganinya. Sudah dua tahun ia berjuang untuk sembuh, tetapi tak kunjung ada hasilnya. Walaupun demikian, ibu Marina tetap semangat untuk anaknya supaya bisa cepat sembuh.
Ririn, bunda Marina hanya bisa melihat dari luar. Tak ada air mata yang keluar, tetapi rasa kekhawatiran begitu jelas terlihat di raut wajahnya. Beberapa saat kemudian, dokter Arka keluar dan menghampirinya.
“Bagaimana keadaan anak saya, dok?” tanyanya gelisah.
“Bisa kita bicara di ruangan saya, Bu?”
Mereka berdua meninggalkan Marina yang sudah terlelap dengan tenang. Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di ruangan dokter Arka.
”Penyakit kanker yang diderita Marina ini cukup ganas dan menyebar ke bagian otak lainnya,” jelas dokter Arka dengan hati-hati.
Hancur, itu yang Ririn rasakan saat ini.
“Apa anak saya masih bisa disembuhkan, Dok ?”
“Masih ada kemungkinan. Kita akan usahakan yang terbaik.”
“Kalau begitu, tolong lakukan yang terbaik supaya anak saya dapat cepat sembuh, Dok,” pinta Ririn.
“Saya usahakan, karena itu sudah bagian dari kewajiban saya.”
Lalu Ririn kembali menemui Marina dan beristirahat disampingnya.
“Tuhan, kalau aku bisa sembuh tolong sembuhkan. Tapi kalau umurku tidak lama, tolong segerakan. Agar ibu tak sedih lagi, agar biaya rumah sakit tak banyak. Ibu, maafkan Marina yang selalu menyusahkan,” ucap Marina.
Tangannya mengusap rambut Ririn, hingga membuatnya terbangun.
“Sudah bangun? Mau minum, Nak?” tanya Ririn yang hanya dijawab dengan gelengan pelan.
“Bunda, maafin Marina yang selalu menyusahkan.”
“Kamu ngomong apa, sih? Ibu nggak ngerasa terbebani.”
“Ibu, aku mau bikin kertas origami.” Elena perlahan duduk, ia ingin membuat origami bentuk elang.
“Kenapa kamu selalu membuat sesuatu yang bisa terbang?”
“Ibu, aku selalu semangat banget buat sesuatu yang bisa terbang. Karena aku ingin terbang bebas. Aku ingin seperti burung ini, yang dengan bebas terbang kemana saja yang dia mau, tanpa ada hambatan sedikitpun,” jelas Marina yang membuat hati Ririn tersentuh.
“Bu, aku tahu penyakit yang aku derita itu kanker otak, kan?”
Ririn diam seketika, ia bingung harus menjawab apa. Selama ini ia berusaha menutupi semuanya, tetapi pada…
“Sudah kewajiban ibu untuk itu, Marina gak perlu sedih. Justru Marina itu penguat supaya ibu selalu berusaha. Kalau Marina rindu rumah, hari ini kita pulang ya, tapi nanti kita kesini lagi. Kalau gitu, ibu ke dokter Arka untuk mendiskusikan ini.”
Setelah bertanya pada dokter, akhirnya mereka diperbolehkan pulang dengan catatan harus menjaga Marina secara ketat. Mereka telah sampai di rumah mewah dan megah yang sudah lama ditinggalkan. Untungnya suami Ririn meninggalkan tabungan dan aset lainnya hingga cukup untuk mereka bertahan sampai saat ini.
Dengan muka pucat, Marina masuk ke dalam kamarnya dan berbaring. Ia memeluk boneka kesayangannya yang sangat ia rindukan. Boneka yang selalu menjadi mainan favoritnya.
Tak terasa, pagi pun tiba. Marina turun untuk makan dan minum obat. Namun, saat bawah tiba-tiba kepalanya berdenyut.Terasa nyeri yang begitu hebat, hingga akhirnya ia kejang. Ririn segera menghampiri dengan panik.
“Ibu sakittttt,” teriaknya.
“Astgfirullah, Marina kenapa begini? Ibu telepon Dokter Arka dulu, bertahan ya,” ucap Ririn dengan raut wajah yang panic. Perlahan kejang itu mereda, tetapi rasa sakit dikepala Marina masih ada.
Beberapa lama kemudian Dokter Arka dating dan langsung memerikksa keadaan Marina.
Setelah diperiksa oleh dokter Arka ternyata detak jantung Marina berhenti seketika, ternyata Marina sudah tidak bernyawa lagi.
Tangis haru yang dirasakan oleh ibu Marina tangisan yang begitu mendalam karena kehilangan sosok anak kesayangannya.
“Sekarang kamu terbang bebas,Nak. Tak ada lagi rasa sakit”
Selamat tinggal anakku sayang………..